A. Sejarah
Pada zaman dahulu kala seorang tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di pegunungan. Ia mempunyai adik
perempuan janda bertempat tinggal di desa Ijingan.
Kyai Gede Penanggungan mempunyai 2 orang anak perempuan. Yang sulung bernama Nyai Loro Walang Sangit, dan yang
bungsu bernama Nyai Loro Walang Angin,
keduanya berdiam di rumah Kyai Gede Penanggungan. Sedangkan adiknya janda
Ijingan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Jaka Walang Tinunu. Setelah dewasa ia sangat tampan dan hormat
kepada ibunya.
Pada suatu hari ia menanyakan kepada ibunya siapakah ayahnya, tetapi
ibunya tidak mau menjawab dan hanya berkata : “Kamu tidak punya ayah tapi Kyai
Gede Penanggungan adalah kakak saya.” Kemudian Jaka Walang Tinunu disertai oleh
dua orang temannya yaitu Satim dan Sabalong menuju ke dukuh [1]
Kedungkras.[2]
Setelah menetap di sana tanpa suatu rintangan apapun, mereka mulai membabat
rimba di Kedung Soko yaitu arah utara Kedung Kras dan arah selatan desa Candi
Pari.
Beberapa waktu kemudian pada suatu malam teman-teman Jaka Walang Tinunu
dengan sepengetahuannya memasang wuwu[3]
di kali (sungai) Kedung Soko. Esok harinya wuwu diambil dan ternyata berhasil
menangkap sekor ikan kotok[4]
yang dinamakan Deleg. Betapa gembiranya si Sabalong lalu ditunjukkannya kepada
Jaka Walang Tinunu dan Satim. Setelah ikan dipotong dan dimasak, tetapi
ajaibnya ikan dapat berbicara layaknya manusia dan menerangkan bahwa ia
sebenarnya bukan ikan, tetapi seorang manusia. Ia dulu bernama Sapu Angin yang mengabdi pada pertapa
dari Gunung Pamucangan dan ia berdosa pada pertapa itu karena pernah mempunyai
keinginan untuk menjadi raja. Dan ia diperkenankan menjadi raja ikan, dengan
demikian maka berubahlah ia menjadi Deleg sampai masuk ke wuwu. Waktu mendengar
riwayat Deleg itu maka terharulah Jaka Walang Tinunu dan berkata : “Barang
siapa berasal dari manusia kembalilah menjadi manusia.” Dan seketika itu ikan
Deleg berubah menjadi manusia yang hampir setampan dengan Jaka Walang Tinunu
lalu diberi nama Jaka Pandelegan dan
diangkat sebagai adik dari Jaka Walang Tinunu.
Demikianlah lalu mereka bersama-sama membuka tanah dan setiap hari
mengolah tanah untuk lahan pertanian. Kemudian Jaka Walang Tinunu memikirkan
soal bibit, tetapi menemui jalan buntu, sebab ia sangat miskin tidak punya
apa-apa untuk membeli keperluan menggarap sawah. Tetapi tiba-tiba ia ingat apa
yang dikatakan ibunya dulu tentang Kyai Gede Penanggungan tetapi ia tidak
berani mengungkapkan isi hatinya kepada beliau. Maka permohonannya tentang
bibit disampaikan kepada Nyi Gede selanjutnya disampaikan kepada suaminya.
Namun Kyai Gede tidak percaya bibit itu akan dipergunakan untuk bersawah.
Sebaliknya kedua putrinya waktu kedatangan Jaka Walang Tinunu dan Jaka
Walang Pandelegan asmara di dada mulai tumbuh melihat kesopanan dan ketampanan
kedua pemuda itu. Baru kali pertama kedua gadis tersebut melihat pemuda yang
begitu sopan dan tampan. Jaka Walang Tinunu dan Jaka Walang Pandelegan kecewa
karena permohonannya tidak dikabulkan, hanya diberi mendang yang apabila
disebarkan tidak akan tumbuh. Lalu kedua putrinya disuruh untuk mengambilkan
mendang tersebut. Karena kedua putrinya menaruh hati maka kesempatan itu tidak
disia-siakan untuk mencampur bibit padi dengan mendang yang akan diberikan itu.
Lalu diserahkan kepada pemuda itu dan Kyai Gede mengatakan itulah bibitnya.,
Setelah menerima mendang satu karung mereka mohon diri. Kedua putrid Kyai
Gede sudah mencintai kedua pemuda itu maka keduanya meminta izin kepada orang
tuanya untuk ikut kedua pemuda itu, tetapi tidak diperkenankan. Akhirnya kedua
putrinya hanya memesan kepada kedua pemuda itu agar menanamkan padi untuk
memberitahukan kepada Nyai Gede.
Setibanya di rumah, secepatnya mendang tersebut disebarkan di sawah
dengan mendapatkan ejekan dari Sabalong dan Satim karena yang disebarkan itu
tidak mungkin dapat tumbuh. Namun demikian Jaka Pandelegan dan Jaka Walang
Tinunu percaya apa yang diucapkan Kyai Gede Penanggungan tersebut.
Ternyata tumbuhnya sangat baik, benar-benar seperti bibit yang
sesungguhnya. Waktu pemindahan tanaman tiba, Jaka Walang Tinunu dan Jaka
Pandelegan datang lagi kepada Nyai Gede untuk memohon izin agar kedua putrinya
membantu menanam padi, tetapi tidak dikabulkan dengan dalih bahwa kedua
putrinya akan dipinang oleh raja Blambangan. Padahal keduanya sudah sama-sama
saling mencintai. Lalu kedua pemuda itu kembali pulang dan diam-diam kedua
putrid Kyai Gede melarikan diri menyusul kedua pemuda tersebut. Nyai Loro
Walang Angin ingin menjadi istri Jaka Pandelegan dan Nyai Loro Walang Sangit
ingin menjadi istrinya Jaka Walang Tinunu. Akhirnya keduanya dapat bertemu
dengan kedua pemuda itu di tengah jalan dan selanjutnya melanjutkan perjalanan
ke Kedung Soko.
Setelah Nyai Gede mengetahui bahwa putrinya tidak ada. Lalu Nyai Gede
memberitahukan kepada Kyai Gede, lalu Kyai Gede mengejar kedua putrinya itu.
Dan Kyai Gede bertemu mereka di tengah jalan lalu dihentikan dan kedua putrinya
dipaksa untuk kembali ke rumah, tetapi ditolaknya. Sedangkan kedua pemuda itu
tak menghiraukannya karena kedua putrinya ikut pada kedua pemuda itu atas
kemauannya sendiri. Maka terjadilah suatu pertengkaran yang berakhir di pihak
Kyai Gede. Sehingga terpaksa pulang kembali tanpa disertai kedua putrinya,
sedang mereka berempat melanjutkan perjalanan ke Kedung Soko.
Waktu tanaman berusia 45 hari, sawah kekurangan air sehingga Jaka Walang
Tinunu menyuruh Jaka Pandelegan menyelidiki air. Ketika berada di tengah sawah
bertemulah ia dengan orang tua yang menceritakan perjalanannya yang menyebabkan
ia buta. Saat ia akan membunuh orang tersebut, lalu ia jatuh pingsan. Setelah
ia sadar sangatlah ia takut dan menanyakan namanya. Lalu orang tua tersebut
menjawab : “Saya nabi Khidir! Pelindung semua air.” Kemudian orang tua itu
member nama kepada Jaka Pandelegan denga nama Dukuh Banyu, lalu orang tua tersebut berkata : “Kalau kamu sudah
selesai bertanam adakanlah selamatan[5]
apabila kamu ingin berhasil.” Setelah itu orang tua itu menghilang. Waktu Jaka
Pandelegan datang ke sawahnya ternyata sudah melimpah air yang melimpah sampai
panen tiba.,
Menurut shohibul hikayat menurut pemotongan padi, karena luasnya sawah
dan baiknya jenis tanaman, maka orang dari segala penjuru datang untuk ikut
drep (memotong padi) tersebut juga diceritakan bagian muka dipotong dan bagian
belakang yang baru saja dipotong sudah dilihat ada tanaman pada bagian belakang
yang menguning, sehingga tidak ada habis-habisnya. Semua hasil panen
dikumpulkan di penangan tepat di tempat candi pari yang berdiri sekarang ini,
dan betapa banyaknya padi penangan ini.
Sementara waktu kemudian kerajaan majapahit mengalami paceklik, pertanian
gagal dan banyak petani sakit. Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh
menjadi kosong karena luasnya sawah yang gagal panen.
Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa berdiam seorang yang arif yang
memiliki banyak padi, maka diperintahkan kepada Patinya untuk meminta penyerahan
padi yang dibawakan perahu ke sungai tenggara Kedung Soko.
Akhirnya Jaka Walang Tinunu juga bersedia untuk menyerahkan padinya
kepada utusan sang prabu, dan padi-padi tersebut diangkat ke tebing sungai dan
selanjutnya dimuatkan pada perahu-perahu itu. Walaupun berapa banyak perahu
yang disediakan namun padi yang disediakan di tebing tetap tidak muat sehingga
tempat tersebut dinamakan Desa Pamotan.
Lalu padi dipersembahkan pada sang prabu Brawijaya dan diterima dengan suka
cita. Lalu sang prabu menanyakan pada sang patih siapakah pemilik padi ini?
Maka sang patih menjawab bahwa pemilik padi ini adalah Jaka Walang Tinunu
putera janda Ijingan.
Maka teringat oleh sang prabu mengutus untuk memanggil Jaka Walang Tinunu
beserta istrinya dengan maksud akan dinaikkan pangkat derajatnya. Dan apabila mereka tidak bersedia supaya
dipaksa tanpa menimbulkan cidera pada badannya, bahkan jangan sampai
menyebabkan kerusakan pada pakaiannya.. Selanjutnya sang prabu menanyakan
siapakah temannya Jaka Pandelegan itu, lalu Jaka Walang Tinunu menjawab bahwa
Jaka Pandelegan yang dianggap adiknya itu adalah berasal dari ikan Deleg.Dalam
perintah raja itu disampaikan kepada Jaka Pandelegan sudah merasa akan mendapat
panggilan, tetapi panggilan tersebut tidak akan dipenuhi, hal tersebut sudah
dipertimbangkan dengan istrinya.
Ketika patih datang menyampaikan panggilan ia menolak. Sekalipun dipaksa
tetap membangkang yang selanjutnya menyembunyikan diri di tengah-tengah
tumpukan padi pada penangan itu. Dan waktu sang patih berusaha untuk menangkap
dan mengepung tempat itu, maka Jaka Pandelegan hilang tanpa bekas (mukso).
Setelah menghilangnya sang suami, Nyai Loro Walang Angin yang membawa kendi
berpapasan dengan patih di suatu tempat, sewaktu akan ditangkap berkatalah dia
: “Biarlah saya simpan terlebih dahulu kendi[6]
ini di sebelah barat daya penangan itu.” Dan saat tiba di sebelah timur sumur,
maka hilanglah istri Jaka Pandelegan itu.
Setelah suami istri itu hilang, pulanglah sang patih untuk melaporkan
peristiwa itu kepada sang prabu. Mendengar kejadian itu baginda sangat kagum
atas kecekatan Jaka Pandelegan dan istrinya itu. Yang akhirnya prabu Brawijaya
mengeluarkan perintah untuk mendirikan dua buah candi untuk mengenang peristiwa
suami istri. Maka didirikanlah candi itu yang satu didirikan dimana Jaka
Pandelegan hilang yang diberi nama Candi Pari, yang satunya didirikan dimana
tempat bekas Nyai Loro Walang Angin menghilang denga diberi nama Candi Sumur. Dan kedua candi itu
baru selesai pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk kira-kira pada tahun 1371
M.
B. Pengamatan Visual Candi Sumur
Candi
Sumur terletak di Dukuh Candi Pari Wetan, Desa Candi Pari, Kecamatan Porong
Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Berada di atas lahan seluas 315 meter persegi,
dan di ketinggian 4,42 di atas permukaan laut.
Candi
ini terbuat dari bata merah berdenah bujur sangkar dengan ukuran 8m x 8m, dan
tinggi 10 meter menghadap ke barat. Arsitetkturnya terdiri dari bagian kaki,
tubuh dan atap. Tetapi sudah tidak utuh karena rapuh oleh faktor alam (jamur
dan penggaraman). Pada bagian tubuh terdapat bilik kosong yang seharusnya
berisi Lingga Yoni, dan terdapat lubang ke dalam menyerupai sumur. Atap
bangunan sendiri masih utuh tetapi terletak di bawah karena terjatuh dan karena
tubuh sudah tidak kuat menahan beban puncak yang terbuat dari batu kali ukuran
besar berbentuk balok.
Keberadaan
ini dihubungkan dengan Candi Pari yang berada 100 meter di sebelah utaranya.
Pada ambang atas pintu masuk Candi Pari ditemukan angka tahun 1371 M, sezaman
dengan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Berdasarkan bentuk
bangunan yang tidak jauh dari Candi Pari, maka diperkirakan candi ini didirikan
sekitar abad ke XIV M dan berlatar belakang agama Hindu. Candi ini pernah
dipugar oleh Dinas Purbakala Trowulan Jawa Timur pada tahun 1999-2003 dalam
proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Dengan hasil pemugaran
kaki candi 70%, tubuh 40%, dan atap 40%
Sebagai
juru kunci situs ini adalah Bapak Mustain (45 Tahun) yang akrab dipanggil Pak
Tain, yang meskipun sedang menderita stroke, beliau tetap aktif dan bersemangat
mendampingi tamu yang berkunjung meskipun ada keterbatasan komunikasi karena
beliau tidak bisa berbicara akibat penyakitnya itu. Beliau adalah generasi ke
tiga dari juru kunci yang saat ini berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
Candi
ini menurut beliau masih sering mendapat kunjungan dari masyarakat. Baik yang
bertujuan hanya sekedar berwisata, observasi maupun untuk keperluan spiritual seperti sembahyang
oleh umat Hindu, maupun ritual-ritual lain. Di tengah-tengah bangunan terdapat
sebuah lubang persegi kira-kira berukuran 50 centimeter persegi dengan
kedalaman mencapai 2 meter. Di dalam lubang tersebut banyak diumpai beberapa
koin yang menurut pak Tain itu adalah uang yang sengaja dilemparkan sebagai
bentuk syukur dan ngalap berkah[7].
Di
pojok (sudut) bangunan dalam, terdapat beberapa tempat sesaji. Yang paling
mencolok adalah keberadaan sisa dupa sebagai sarana utama dalam ritual.
C. Pandangan atau Respon Masyarakat Sekitar
Terhadap Keberadaan Candi
1. Ibu Sukarti
Ibu Sukarti adalah pendatang sejak tahun 1997. Beliau belum paham
sepenuhnya mengenai Candi Sumur. Beliau hanya mengetahui sekedar saja dan yang
beliau ketahui selain digunakan “barikan”[8]
setiap tanggal 17 Agustus, ada juga warga yang bernadzar atau berdo’a memohon agar hajatnya terkabul di
tempat tersebut. Selain itu banyak dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk
mengadakan ritual-ritual gaib
(melekan) dengan tujuan untuk memperoleh benda-benda gaib seperti keris, batu
akik, dan lain-lain
2. Bapak Hasim
Beliau adalah penduduk asli. Dalam wawancara banyak hal yang ditutupi
karena alasan tertentu. Beberapa info dari beliau adalah pada malam hari Jumat
Legi biasanya banyak gadis-gadis dari “kulonan”[9]
yang mengadakan ritual tertentu dengan tujuan tertentu, seperti mengharapkan dapat jodoh dan lain-lain
3. Ibu Kasiam
Karena alasan tertentu beliau tidak berani bertutur kata tentang candi
ini. Alasan utama beliau adalah karena berhubungan dengan hal-hal mistis yang dialami
Kesimpulan dari beberapa responden tersebut di atas adalah masyarakat
sekitar tidak mengetahui secara detail mengenai candi ini. Hal ini disebabkan
karena banyak warga sekitar yang apatis terhadap keberadaan situs sejarah,
bahkan ada yang karena unsur-unsur mistis yang ada, seperti mereka takut akan
mendapat karma[10]
dari “makhluk penunggu” candi. Selain sebagai ritual khusus yang sering
diadakan orang-orang tertentu, setiap bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa di
kawasan Candi Pari diadakan acara Ruwah
Deso[11]
dengan mendatangkan kesenian tradisional berupa wayang kulit sebagai bentuk rasa syukur dan mendoakan leluhur.
D. Korelasi Keberadaan Candi Terhadap
Masyarakat Dari Tinjauan Psikologi
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah
karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat
dipengaruhi lingkungan dengan fungsi-fungsi bawaan sebagai dasarnya. Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam
kajian kepribadian dalam tinjauan lintas budaya dia atas menggambarkan sebuah
kenyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar
memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu
kenyataan yang merangsang perlunya kajian-kajian yang bersifat lokal atau
indigenous personality yang mampu memberi penjelasan mengenai kepribadian
individu dari suatu budaya secara mendalam. Konseptualisasi mengenai
kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya tertentu dan relevan hanya
pada budaya tersebut.
Candi Sumur bagi bebrapa warga
merupakan tempat yang berfungsi dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat
spiritual. Hal ini membuktikan bahwa manusia dalam kehidupannya masih
membutuhkan ketenangan batin, atau
suatu spirit atau tenaga “segar” dengan cara mencari cara lain ( others way)
dalam usahanya memperoleh atau memperjuangkan keinginannya. Banyak makna-makna simbolik yang mereka
gunakan dalam rangka pencapaian itu.
Berikut adalah beberapa tinjauan aspek
psikologis budaya-budaya yang terdapat dalam Candi Sumur
1.
Keberadaan Sumur di tengah-tengah
bangunan candi. Secara filosofis ini adalah cirri utama dari candi itu. Sumur
secara visual adalah merupakan pusat karena terletak di bangunan utama dan
tepat berada di tengah-tengah. Makna yang terkandung mengenai keberadaan sumur
ini adalah bahwa sumur merupakan sumber air, sedangkan air sendiri adalah sumber kehidupan. Maka tidak heran
apabila pada hari-hari tertentu banyak orang yang datang ke tempat ini dan
membuang beberapa koin. Mereka percaya dengan itu semua hajat atau keinginan
mereka akan tercapai. Dalam tinjauan psikilogi, setelah membuang dan melakukan
ritual lainnya di tempat itu mereka akan tersugesti akan terkabulnya segala
keinginannya. Menurut Agus Mustofa dalam karyanya Pusaran Energi Ka’bah, di
tempat-tempat hening dan tempat dimana banyak manusia yang mengadakan ritual
keagamaan, maka banyak tercipta medan magnet-medan magnet yang akan berdampak
positif bagi jiwa pelakunya ( ketenangan) dari rasa tenang tersebut, para
pelaku ritual akan memperoleh tenaga (sugesti) tersendiri dalan usahanya
mencapai keinginan.
2. Disamping
itu, adanya dupa sebagai sarana
berdo’a juga akan membawa keyakinan tersendiri bagi pelaku ritual. Aroma harum
khas yang keluar dari asap dupa membawa dampak berupa ketenangan dan kekhusu’an
bagi yang berdo’a. Dalam konteks ajaran agama salah satu unsur agar do’a itu makbul (terkabul) adalah dengan khusyu’
dan tenang, yang dalam hal ini aroma dari asap dupa menjadi sarananya.
3. Mengingat
adanya faktor cerita asmara dalam
cerita sejarah Candi Sumur, maka tidak heran jika tempat ini digunakan sebagai
salah satu tempat ritual bagi beberapa warga, khususnya gadis-gadis sebagai
tempat untuk berikhtiyar berdo’a mengenai problematika asmara mereka. Dari sini
mereka akan mempunyai motivasi
tersendiri, bahkan tidak menutup kemungkinan cerita-cerita asmara itu akan
banyak mengilhami kehidupan mereka kelak. Seperti keteguhan kedua putrid Kyai
Gede dalam memperjuangkan cintanya, dan kesetiaan Nyai Loro Walang Angin untuk
tetap berada di sekitar Candi Pari karena sudah berkomitmen dengan suaminya
untuk tidak memenuhi panggilan sang prabu
4. Bagi Pak
Mustain, sebagai juru kunci keberadaan Candi ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi beliau, karena beliau merasa bersyukur
bahwa warga sekitar adalah termasuk keturunan dari pelaku sejarah kerajaan
besar di zamannya yaitu Kerajaan Majapahit.
5. …………..“Kalau kamu sudah selesai bertanam adakanlah
selamatan apabila kamu ingin
berhasil.”……………….. Dalam dunia ilmu psikologi penggalan kalimat percakapan
antara Jaka Pandelegan dan nabi Khidir yang menjelma menjadi orang tua di atas
adalah dalam pengertian tentang motif
theologies, yakni motif yang terjadi dalam hubungan/interaksi antara
manusia dengan Tuhannya. Disamping itu dalam perspektif ilmu kawruh jiwa, hal tersebut mencerminkan
bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat “sial”, oleh sebab itu dia mencari
pertolongan dari kekuatan di luar dirinya dalam hal ini adalah kekuatan yang
berasal dari Tuhan.[12]
6. Maka
teringat oleh sang prabu mengutus untuk memanggil Jaka Walang Tinunu beserta
istrinya dengan maksud akan dinaikkan pangkat derajatnya…………….Hubungan
dengan dunia psikologi dalam kalimat tersebut bisa dilihat dari perspektif
tentang teori belajar, dimana karena
keberhasilan dari Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan, mereka mendapatkan reward
dari sang Prabu. Dimana tujuan dari diberikannya reward ini selain
sebagai hadiah juga sebagai cara untuk menyemangati kedua pemuda tersebut, ini
berkaitan erat dengan teori piramida motivasi yang dikemukakan oleh Abraham
Maslow, dimana esteem merupakan unsur
pokok kebutuhan manusia akan dihargai.
[1]
Dukuh adalah sebutan untuk sebuah dusun
[2]
Sekarang menjadi desa Kesambi
[3]
Wuwu adalah sejenis alat penangkap ikan yang terbuat dari anyaman bambu
[4]
Sejenis ikan lele tetapi tidak mempunyai sungut (kumis)
[5]
Selamatan adalah acara yang digelar oleh masyarakat yaitu berupa do’a bersama,
biasanya diadakan sebelum memulai atau setelah selesainya suatu rangkaian
kegiatan dengan maksud sebagai perwujudan agar usaha yang dimulai mendapatkan
ridho dari Tuhan dan jika diselenggarakan di akhir dengan tujuan sebagai
ungkapan rasa Syukur
[6]
Kendi adalah sejenis teko yang terbuat dari tanah liat. Biasanya digunakan
sebagai tempat air minum
[7]
Ngalap berkah adalah kegiatan semacam mencari restu atau keberkahan dari Tuhan
[8]
Barikan adalah acara do’a bersama yang diselenggarakan dengan cirri khas adanya
makanan berupa tumpeng dan makanan tradisional lain. Biasanya digunakan dalam
upacara-upacara hari-hari besar atau hari-hari tertentu
[9]
Kulonan adalah sebutan untuk orang yang bertempat tinggal di daerah barat Jawa
Timur seperti Blitar, Kediri, Tulungagung.
[10]
Dalam hal ini menurut mereka sewaktu kami datang untuk mencari info dua
responden yang merupakan warga asli merasa didatangi oleh “penunggu” ghaib dari
Candi Sumur, dan dalam kontak mereka dilarang untuk memberitahukan informasi
lebih detail mengenai Candi Sumur
[11]
Ruwah deso adalah adat orang Jawa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan
leluhur
[12]
Abdurrahman El-‘Ashiy, Makrifat Jawa. PT.
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta : 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar