Pagi yang
cerah aku mulai dengan aktifitas seperti biasa, hanya saja aku tak lagi memakai
baju putih merah melainkan putih biru. Sepertinya ini akan menjadi suatu
permulaan yang baik, karena aku siap menjadi siswa baru di Sokolah Meengah
Pertama fovorit di kotaku.
“Perkenalkan
namaku Anjani.” Kataku di depan kaca sambil latihan perkenalan.
“Nggak!
Terlalu norak.”
“Hai...
Aku Anjani, salam kenal. Lumayan deh dari pada yang tadi.”
“Jen...”
Teriak mama dari luar.
Jen adalah
panggilan sayang dari Mama untukku. Mama selalu memperhatikan segala sesuatuku.
Ya maklum saja, Mama terlalu memanjakanku. Tapi sebaliknya, Ayah lebih sayang
sama adikku yang bernama Nikta.
“Ya
Mamaku sayang. Aku sudah siap!” Kataku sambil membuka pintu kamar.
“Cepat
nanti kamu terlambat. Kamu belum sarapan.”
Selesai
sarapan, Mama berniat menemaniku ke sekolah.
“Sudahlah
Ma, anak Mama ini sudah besar. Biar aku diantar Ayah saja ya?”
“Tapi kan
Mama ingin lihat kamu di sekolah yang baru.”
“Sudahlah
Ma, anak Mama yang satu ini sudah besar, bisa sendiri kok.”
“Ok. Tapi
tetap harus hati-hati, jaga diri baik-baik ya sayang, jangan nakal.”
“Ya Ma.”
Kataku sambil mencium pipi Mama.”
Sesampainya
di sekolah, aku tak banyak bicara. Aku langsung menuju kelas dan duduk. Tak
lama kemudian datang cewek dan duduk di sebelahku.
“Hai...
bisa kita berteman? Namaku Chika.” Sambil mengulurkan tangan.
“Ya boleh
dong. Namaku Anjani. Salam kenal ya?”
“Iya.
Emm... boleh kan aku duduk di sini. Mauku sih kita jadi teman sebangku.”
“Ok!
Nggak masalah. Yang penting kita bisa cocok aja.”
Percakapan
kita berlanjut hingga Pantia MOS (Masa Orientasi Siswa) masuk dalam kelas.
“Adik-adik
sekalian mohon perhatiannya. Saya mau kalian maju satu persatu memperkenalkan
diri kalian. Mengerti.”
Dan tak
aku sangka sepertinya aku menemukan sesuatu yang menarik hari ini. Sorot mata
yang mempesona.
“Anjani,
aku tertarik sama Kakak itu.”
“Yang
mana sih?”
“Yang itu
lho, berdiri di pintu.”
Tak
kusangka ternyata Chika memiliki selera yang sama denganku.
“Haduh
gawat ini, belum apa-apa sudah punya saingan. Teman sendiri lagi. Kalau kayak
gini bisa gawat.” Kataku dalam hati.
Berhari-hari
kita hanya saling membicarakan pribadi kita masing-masing untuk saling mengenal
satu sama lain. Ya ini semua agar kita saling tau dan mencoba terbuka.banyak
hal yang Chika ceritakan padaku mulai dari kebiasaan, hobby, apa yang dia suka
dan tidak, sampai type cowok yang dia idamkan juga dia ceritakan padaku. Dan
saat ini dia memang sudah memiliki kekasih yang bernama Desta, yang juga satu
sekolah dengan kita. Sedangkan aku masih jomblo. Aku akui untuk saat ini aku
belum berani, hanya baru sekedar tertarik.
Setiap
hari aku dan Chika selalu bersama. Bahkan sudah seperti saudara. Saat itu Chika
berminat gabung dalam ekstrakurikler teater dan aku pun juga ikut. Aku tau apa
alasan Chika berminat ikut teater, ternyata untuk mendekati cowok bermata indah
itu. Namanya Dion. Aku tak suka caa Chika, sudah jelas-jelas punya pacar masih
mendekati cowok lain. Memang Chika itu terlihat polos dan femini padahal dia
tak sepolos yang orang kira.
“Ini
nggak bisa dibiarin. Kalau seperti ini, aku bisa kehilangan kesempatan untuk
dekat sama Dion.”
Dan aku
mulai berfikir dengan seala cara.
“Aku tau,
mungkin ini bisa berhasil.”
Beberapa
bulan telah berlalu, aku, Chika dan Dion memang sudah dekat dan mengenal baik
satu sama lain. Daan saat itu aku mendengar kabar bahwa Chika dan Dion menjalin
kasih. Dan aku mengirim pesan singkat pada Chika.
“1 jam
lagi kita ketemu di cafe biasa aku mau bicara.”
Dan saat
bertemu aku pun menanyakan kebenaran kabar itu.
“Jadi
kamu sudah jadian sama Dion?” Tanyaku kaget.
“Yups.
Baru kemarin dia memintaku jadi pacarnya.”
“Lalu
Desta?”
“Ah, itu
nggak penting lagian dia nggak akan tau kalau nggak ada yang kasih tau.”
“Oh, ya syukur
deh. Tapi kamu sudah bermain api, awas nanti terbakar sendiri.”
“Iya, aku
tau Anjani. Pokoknya aku mau nikmati hari-hariku bersama Pangeran Dion.”
“Whatever.
Aku pergi dulu ada urusan.” Kataku dengan bergegas meninggalkan Chika.
Ini bukan
masalah besar bagiku. Aku yakin ini tak akan lama karena Chika type cewek yang
gampang bosan dan Dion type cowok yang dekat dengan semua cewek. Selang
beberapa menit aku meninggalkan Chika handphondku berdering.
“Iya, ada
apa Dion?”
“Bisa
kita bertemu nanti malam.”
“Iya
bisa. Ada perlu apa? Kayaknya penting gitu?”
“Aku
nggak bisa bilanng sekarang. Nanti akku jemput di rumah kamu.”
“Ok.
Pukul 19.00 tepat. Jangan telat.”
“Baik
Tuan Putri.”
Akku
hanya berfikir, mungkin dia hanya ingin curhat masalah ceweknya itu. Yang bisa
dibilang kebalikan dari sifatku yang tomboi, cuek, dan apa adanya walaupun
manja.
Malam
telah tiba, dan aku sudah siap dengan janji malam ini.
“Jen, ada
Dion di depan sayang. Dia menunggumu.” Teriak Mama dari ruang tamu.
“Iya Ma,
aku sudah selesai kok.” Kataku sambil menghampiri Dion.
“Eh, mau
keluar kok pakai baju seperti itu, sana ganti dulu.” Komentar Mama.
“Mama
sayang, hanya main kok. Bukan acara resmi.”
“Sudah
tante biar saja. Permisi dulu Tante.”
“Iya
sudah, hati-hati ya? Jangan pulang malam-malam!” Kata Mama sambil melayangkan
kecupan sayangnya di pipi kananku.
“Kita
jalan kaki?” Tanyaku saat melihat tak ada kendaraan di depan rumah.
“Kata
siapa kita naik sepeda kayuh.”
“Kita mau
kemana?”
“Nanti
kamu juga tau.”
Tak lama
kemudian Dion berhenti di Taman Kompleks dekat rumah.
“Disini?”
“Iya.
Tapi kamu harus tutup mata.”
“Dion aku
nggak lagi ulang tahun, nggak perlu ada surprize kayak gini.”
“Ikuti
saja apa kataku.” Kata Dion dengan menutup mataku dengan saputangan.
Sudah
tiga menit berjalan akhirnya Dion memintaku berhenti dan menyuruhku duduk di
sebuah kursi.
“Sekarang
boleh kamu buka.”
“Waw...
Tapi apa maksudnya ini?
Sudut
taman yang dihias hingga jadi tempat yang romantis. Ini benar-benar diluar
dugaanku.
“Anjani
sebenarnya aku mau bicara hal ini sejak awal. Tapi aku ragu.”
“Apa?”
“Sejak
awal kita bertemu, aku coba mendekatimu. Tapi kamu cuek, acuh dan tak pernah
memperhatikanku sedikitpun, hingga Chika mendekatiku dan memberi sesuatu yang
berbeda. Walau begitu, rasaku tak pernah berubah. Dan ini saatnya aku bilang
karena aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku cinta sama kamu, aku
sayang sama kamu Anjani.”
Mendengar
penjelasan dari Dion seakan-akan waktu berhenti. Aku tak bisa mengatakan apa
pun. Bibirku beku tak bisa berucap hingga aku tersadar dari ketercenganganku.
“Tapi
Chika? Kamu tak bisa seperti ini.”
“Mungkin
aku tak bisa memutuskan hubungan dengannya saat ini karena dia yang memulai
hubungan ini.”
“Aku
nggak mau.”
“Kenapa?
Apa kamu tak memiliki rasa yang sama denganku?”
“Bukan
itu. Aku akui aku pun merasakan hal yang sama. Tapi melihat kedekatanmu dengan
Chika, aku memilih mundur. Walau Chika seperti itu, dia tetap sahabatku. Dan
aku tak mau menyakitinya.”
“Biar
nanti waktu yang menentukan.”
“Aku
hanya ingin kepastian. Kamu menerimaku atau tidak? Aku butuh jawaban sekarang
juga.”
Jika aku
tak menerimanya, pasti suatu hari nanti aku menyesal telah menyia-nyiakannya.
Tapi jika aku terima berarti aku harus bisa terima segala konsekuensi apa pun
itu. Sedangkan Dion bilang ini akan baik-baik saja.
“Semua
orang sudah tau akan hubunganmu dengan Chika. Lalu aku gimana? Menjadi pacar
simpananmu?”
“Iya. Aku
cinta kamu, bukan Chika. Walau semua orang nggak ada yang tau tapi aku serius.”
“Iya aku
terima.”
“Kamu
nggak bohong kan?”
“Nggak,
aku srius. Atau kamu mau berubah fikiran?”
“Jangan
dong! Jadi kita pacaran ya?”
“Iya. Ayo
pulang, sudah malam. Nanti aku dicari Mama.”
“Iya Tuan
Putri, mari aku antar.”
Sesampainya
di rumah, aku masih berfikir.
“Apa
keputusan yang aku ambil benar? Apa aku bisa jalani ini semua dengan status
pacar simpanan?” Tanyaku di depan kaca.
Keesokan
harinya, aku jalani hari-hariku seperti biasa seakan-akan tak pernah terjadi
sesuatu. Di muka umum aku hanya berteman dengan Dion, dan itu menyiksa. Setiap
kali aku melihat Dion dan Chika Terlihat mesra rasanya aku ingin pergi menjauh.
Sakit, mempunyai kekasih tapi tak bisa memiliki seutuhnya, bahkan terkadang aku
berfikir lebih baik mengakhiri.
Hingga
sampai suatu
“Sampai
kapan kita seperti ini? Aku nggak bisa seperti ini terus menerus.”
“Aku tau,
aku coba untuk mengakhiri.”
“Cepat
atau lambat Chika pasti tau hubungan kita.”
“Iya aku
tau. Sudah jangan terlalu difikirkan. Biar aku yang selesaikan sendiri. Aku
nggak mau ini jadi beban buat kamu.”
“Tapi
kalau seperti ini, aku akan selalu jadi yang nomor dua.”
“Tenanglah,
ini hanya sementara. Walau begitu, kamu tetap nomor satu di hatiku.”
“Gombal.”
“Buat apa
aku bohong? Kita sudah pacaran satu tahun lebih, apa kamu masih belum percaya?
Jika aku hanya mempermainkanmu, nggak mungkin aku mempertahankanmu seperti ini.
Ya aku tau apa yang kamu mau. Besok aku penuhi semua yang kamu mau.”
“Janji?”
“Iya aku
janji.”
Setelah
perbincangan itu, aku mendengar kabar Dion dan Chika bertengkar hebat entah apa
yang membuat mereka seperti itu. Dan akhirnya mereka putus. Ternyata Dion
benar-benar menepati janjinya. Sedangkan Chika menyesal dengan apa yang sudah
terjadi diantara hubungan mereka.
“Anjani,
aku menyesal kenapa saat itu aku emosi. Aku nggak bisa kendalikan emosiku
hingga aku mengucap kata yang nggak seharusnya aku ucapkan.” Kata Chika sambil
berlinang air matanya.
“Jangan
menangis lagi, nasi sudah jadi bubur.”
“Iya aku
tau Dion nggak akan kembali sama aku karena dia sudah punya penggantiku.”
“Kamu kan
masih punya Detta. Detta masih setia kan sama kamu?”
“Detta
sudah tau jika aku mengkhiyanati cintanya.”
“Ya,
kalau begitu ini balasan buat kamu. Ini namanya karma.”
“Sudah
pokoknya aku mau balik lagi.”
“Ya
terserah kamu deh.”
Hari-hariku
lebih baik, mungkin karena sudah tak terbayang-bayang lagi dengan masalah itu.
Aku coba menjadi lebih baik, nggak terlalu tomboy.
Suatu
hari Chika datang ke Rumahku.
“Nikta,
Kak Anjani ada di rumah nggak?”
“Wah, Kak
Chika telat. Baru saja Kak Anjani dijemput sama Kak Dion.”
“Mereka
pergi kemana?”
“Aku
nggak tau Kak, tadi Kak Anjani cuma pamit mau keluar sebentar.”
“Ya sudah
kalau gitu Kakak pulang dulu ya? Makasih infonya.”
“Ya,
hati-hati ya Kak.” Kata Chika sambil mengusap kepala Nikta.”
Tiba-tiba
handphondku berdering, ternyata telpon dari Chika. Aku berusaha tenang dan
menjawab telpon.
“Iya ada
apa Chika?”
“Kamu
lagi dimana? Sama siapa? Aku mau kita ketemu.”
“Memangnya
ada apa? Kayaknya ada yang penting.”
“Iya
penting. Bisa kan kita ketemu sekarang? Aku tunggu di tempat biasa.
“Ya, 10
menit lagi aku sampai.”
Aku yakin
pasti Chika sudah tau tentang hubunganku dengan Dion. Mungkin ini memang saat
yang tepat untuk jujur sama Chika. Pasti Chika sakit hati dengan ini, tapi aku
harus mengatakannya. Sudah sampai di cafe, aku harus tetap tenang.
“Hai
Chik...”
“Anjani,
langsung saja aku mau tanya.”
“Tanya
masalah apa ya?”
“Kamu ada
hubungan apa sama Dion?”
“Hubungan
sama Dion gimana sih? Kamu kan tau sediri aku sama Dion kayak gimana?
“Iya,
tapi tadi aku ke rumah kamu. Terus adik kamu bilag kalau kamu keluar sama
Dion.”
“Iya
memang aku keluar sama Dion. Terus kenapa? Apa ada masalah kalau aku keluar
sama Dion?”
“Iya,
kamu kan tau aku masih sayang sama Dion. Kenapa kamu malah keluar sama Dion?”
Emosi Chika semakin memuncak.
“Memangnya
salah ya? Toh kamu sudah nggak ada hubungan apa-apa sama Dion. Jadi kamu nggak
berhak memantau di dekat, jalan, atau pacaran sama siapa?” Jawabku dengan nada
tinggi.
Tiba-tiba
Dion datang.
“Kamu kok
bisa disini?” Tanyaku.
“Iya,
tadi aku ikuti kamu.”
“Bagus
deh kalau ada Dion juga. Kamu ada hubungan apa sama Anjani?” Tanya Chika sinis.
“Kamu mau
tau ada apa aku sama Anjani. Ok aku jelaskan. Anjani adalah pacarku sekarang.”
“Apa?
Sejak kapan? Tanya Chika kaget.
“Beberapa
hari setelah kita jadian.” Jawab Dion santai.
“Anjani,
kamu keterlaluan. Jadi selama ini kalian bohongi aku. Kamu tega Anjani. Kamu
menusukku dari belakang. Jelas-jelas kamu tau aku sayang sama Dion, tapi kamu
merebut dia dari aku.”
“Jangan
salahkan aku. Maaf aku menusukmu dari belakang. Tapi ini balasan buat kamu.
Kamu dulu juga bersikap seperti ini kan terhadap Desta. Kamu menghianati
cintanya. Sekarang kamu tau bagaimana rasanya dikhiyanati oleh sahabatmu
sendiri. Sekali lagi maaf Chika. Aku cinta sama Dion begitu juga sebaliknya.
Dan aku harap kamu bisa terima ini semua.”
“Pengkhiyanat
kamu Anjani!” Seru Chika yang akan menamparku.
“Jangan
pernah kamu menyentuh apa lagi menyakiti pacarku. Ayio kita pulang Anjani,
biarkan orang ini disini.”
Saat
meninggalkan Chika, ada perasaan bersalah memperlakukan Chika seerti itu.
Mungkin ini memang salahku. Chika benar, aku merebut Dion darinya. Tapi bukan
salahku juga kalau aku mencintai Dion dari pada sahabatku sendiri. Aku masih
merenung dengan segala hal yang telah aku perbuat.
Sejak
malam itu, aku tak pernah lagi melihat Chika di sekolah. Nomor handphondnya
juga nggak aktif. Bahkan dia juga pindah rumah. Sudahlah, ini hanyalah
perjalanan dari sebagian hidupku. Hidupku masih terus berjalan, dan aku hanya
berdoa semoga Chika baik-baik saja dan bisa memaafkanku. Sedangkan Dion masih
tetap setia bersamaku.
Selesai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar