Selasa, 26 Juni 2012

Maaf ! aku menusukmu dari belakang


Pagi yang cerah aku mulai dengan aktifitas seperti biasa, hanya saja aku tak lagi memakai baju putih merah melainkan putih biru. Sepertinya ini akan menjadi suatu permulaan yang baik, karena aku siap menjadi siswa baru di Sokolah Meengah Pertama fovorit di kotaku.
“Perkenalkan namaku Anjani.” Kataku di depan kaca sambil latihan perkenalan.
“Nggak! Terlalu norak.”
“Hai... Aku Anjani, salam kenal. Lumayan deh dari pada yang tadi.”
“Jen...” Teriak mama dari luar.
Jen adalah panggilan sayang dari Mama untukku. Mama selalu memperhatikan segala sesuatuku. Ya maklum saja, Mama terlalu memanjakanku. Tapi sebaliknya, Ayah lebih sayang sama adikku yang bernama Nikta.
“Ya Mamaku sayang. Aku sudah siap!” Kataku sambil membuka pintu kamar.
“Cepat nanti kamu terlambat. Kamu belum sarapan.”
Selesai sarapan, Mama berniat menemaniku ke sekolah.
“Sudahlah Ma, anak Mama ini sudah besar. Biar aku diantar Ayah saja ya?”
“Tapi kan Mama ingin lihat kamu di sekolah yang baru.”
“Sudahlah Ma, anak Mama yang satu ini sudah besar, bisa sendiri kok.”
“Ok. Tapi tetap harus hati-hati, jaga diri baik-baik ya sayang, jangan nakal.”
“Ya Ma.” Kataku sambil mencium pipi Mama.”
Sesampainya di sekolah, aku tak banyak bicara. Aku langsung menuju kelas dan duduk. Tak lama kemudian datang cewek dan duduk di sebelahku.
“Hai... bisa kita berteman? Namaku Chika.” Sambil mengulurkan tangan.
“Ya boleh dong. Namaku Anjani. Salam kenal ya?”
“Iya. Emm... boleh kan aku duduk di sini. Mauku sih kita jadi teman sebangku.”
“Ok! Nggak masalah. Yang penting kita bisa cocok aja.”
Percakapan kita berlanjut hingga Pantia MOS (Masa Orientasi Siswa) masuk dalam kelas.
“Adik-adik sekalian mohon perhatiannya. Saya mau kalian maju satu persatu memperkenalkan diri kalian. Mengerti.”
Dan tak aku sangka sepertinya aku menemukan sesuatu yang menarik hari ini. Sorot mata yang mempesona.
“Anjani, aku tertarik sama Kakak itu.”
“Yang mana sih?”
“Yang itu lho, berdiri di pintu.”
Tak kusangka ternyata Chika memiliki selera yang sama denganku.
“Haduh gawat ini, belum apa-apa sudah punya saingan. Teman sendiri lagi. Kalau kayak gini bisa gawat.” Kataku dalam hati.
Berhari-hari kita hanya saling membicarakan pribadi kita masing-masing untuk saling mengenal satu sama lain. Ya ini semua agar kita saling tau dan mencoba terbuka.banyak hal yang Chika ceritakan padaku mulai dari kebiasaan, hobby, apa yang dia suka dan tidak, sampai type cowok yang dia idamkan juga dia ceritakan padaku. Dan saat ini dia memang sudah memiliki kekasih yang bernama Desta, yang juga satu sekolah dengan kita. Sedangkan aku masih jomblo. Aku akui untuk saat ini aku belum berani, hanya baru sekedar tertarik.
Setiap hari aku dan Chika selalu bersama. Bahkan sudah seperti saudara. Saat itu Chika berminat gabung dalam ekstrakurikler teater dan aku pun juga ikut. Aku tau apa alasan Chika berminat ikut teater, ternyata untuk mendekati cowok bermata indah itu. Namanya Dion. Aku tak suka caa Chika, sudah jelas-jelas punya pacar masih mendekati cowok lain. Memang Chika itu terlihat polos dan femini padahal dia tak sepolos yang orang kira.
“Ini nggak bisa dibiarin. Kalau seperti ini, aku bisa kehilangan kesempatan untuk dekat sama Dion.”
Dan aku mulai berfikir dengan seala cara.
“Aku tau, mungkin ini bisa berhasil.”
Beberapa bulan telah berlalu, aku, Chika dan Dion memang sudah dekat dan mengenal baik satu sama lain. Daan saat itu aku mendengar kabar bahwa Chika dan Dion menjalin kasih. Dan aku mengirim pesan singkat pada Chika.
“1 jam lagi kita ketemu di cafe biasa aku mau bicara.”
Dan saat bertemu aku pun menanyakan kebenaran kabar itu.
“Jadi kamu sudah jadian sama Dion?” Tanyaku kaget.
“Yups. Baru kemarin dia memintaku jadi pacarnya.”
“Lalu Desta?”
“Ah, itu nggak penting lagian dia nggak akan tau kalau nggak ada yang kasih tau.”
“Oh, ya syukur deh. Tapi kamu sudah bermain api, awas nanti terbakar sendiri.”
“Iya, aku tau Anjani. Pokoknya aku mau nikmati hari-hariku bersama Pangeran Dion.”
“Whatever. Aku pergi dulu ada urusan.” Kataku dengan bergegas meninggalkan Chika.
Ini bukan masalah besar bagiku. Aku yakin ini tak akan lama karena Chika type cewek yang gampang bosan dan Dion type cowok yang dekat dengan semua cewek. Selang beberapa menit aku meninggalkan Chika handphondku berdering.
“Iya, ada apa Dion?”
“Bisa kita bertemu nanti malam.”
“Iya bisa. Ada perlu apa? Kayaknya penting gitu?”
“Aku nggak bisa bilanng sekarang. Nanti akku jemput di rumah kamu.”
“Ok. Pukul 19.00 tepat. Jangan telat.”
“Baik Tuan Putri.”
Akku hanya berfikir, mungkin dia hanya ingin curhat masalah ceweknya itu. Yang bisa dibilang kebalikan dari sifatku yang tomboi, cuek, dan apa adanya walaupun manja.
Malam telah tiba, dan aku sudah siap dengan janji malam ini.
“Jen, ada Dion di depan sayang. Dia menunggumu.” Teriak Mama dari ruang tamu.
“Iya Ma, aku sudah selesai kok.” Kataku sambil menghampiri Dion.
“Eh, mau keluar kok pakai baju seperti itu, sana ganti dulu.” Komentar Mama.
“Mama sayang, hanya main kok. Bukan acara resmi.”
“Sudah tante biar saja. Permisi dulu Tante.”
“Iya sudah, hati-hati ya? Jangan pulang malam-malam!” Kata Mama sambil melayangkan kecupan sayangnya di pipi kananku.
“Kita jalan kaki?” Tanyaku saat melihat tak ada kendaraan di depan rumah.
“Kata siapa kita naik sepeda kayuh.”
“Kita mau kemana?”
“Nanti kamu juga tau.”
Tak lama kemudian Dion berhenti di Taman Kompleks dekat rumah.
“Disini?”
“Iya. Tapi kamu harus tutup mata.”
“Dion aku nggak lagi ulang tahun, nggak perlu ada surprize kayak gini.”
“Ikuti saja apa kataku.” Kata Dion dengan menutup mataku dengan saputangan.
Sudah tiga menit berjalan akhirnya Dion memintaku berhenti dan menyuruhku duduk di sebuah kursi.
“Sekarang boleh kamu buka.”
“Waw... Tapi apa maksudnya ini?
Sudut taman yang dihias hingga jadi tempat yang romantis. Ini benar-benar diluar dugaanku.
“Anjani sebenarnya aku mau bicara hal ini sejak awal. Tapi aku ragu.”
“Apa?”
“Sejak awal kita bertemu, aku coba mendekatimu. Tapi kamu cuek, acuh dan tak pernah memperhatikanku sedikitpun, hingga Chika mendekatiku dan memberi sesuatu yang berbeda. Walau begitu, rasaku tak pernah berubah. Dan ini saatnya aku bilang karena aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu Anjani.”
Mendengar penjelasan dari Dion seakan-akan waktu berhenti. Aku tak bisa mengatakan apa pun. Bibirku beku tak bisa berucap hingga aku tersadar dari ketercenganganku.
“Tapi Chika? Kamu tak bisa seperti ini.”
“Mungkin aku tak bisa memutuskan hubungan dengannya saat ini karena dia yang memulai hubungan ini.”
“Aku nggak mau.”
“Kenapa? Apa kamu tak memiliki rasa yang sama denganku?”
“Bukan itu. Aku akui aku pun merasakan hal yang sama. Tapi melihat kedekatanmu dengan Chika, aku memilih mundur. Walau Chika seperti itu, dia tetap sahabatku. Dan aku tak mau menyakitinya.”
“Biar nanti waktu yang menentukan.”
“Aku hanya ingin kepastian. Kamu menerimaku atau tidak? Aku butuh jawaban sekarang juga.”
Jika aku tak menerimanya, pasti suatu hari nanti aku menyesal telah menyia-nyiakannya. Tapi jika aku terima berarti aku harus bisa terima segala konsekuensi apa pun itu. Sedangkan Dion bilang ini akan baik-baik saja.
“Semua orang sudah tau akan hubunganmu dengan Chika. Lalu aku gimana? Menjadi pacar simpananmu?”
“Iya. Aku cinta kamu, bukan Chika. Walau semua orang nggak ada yang tau tapi aku serius.”
“Iya aku terima.”
“Kamu nggak bohong kan?”
“Nggak, aku srius. Atau kamu mau berubah fikiran?”
“Jangan dong! Jadi kita pacaran ya?”
“Iya. Ayo pulang, sudah malam. Nanti aku dicari Mama.”
“Iya Tuan Putri, mari aku antar.”
Sesampainya di rumah, aku masih berfikir.
“Apa keputusan yang aku ambil benar? Apa aku bisa jalani ini semua dengan status pacar simpanan?” Tanyaku di depan kaca.
Keesokan harinya, aku jalani hari-hariku seperti biasa seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu. Di muka umum aku hanya berteman dengan Dion, dan itu menyiksa. Setiap kali aku melihat Dion dan Chika Terlihat mesra rasanya aku ingin pergi menjauh. Sakit, mempunyai kekasih tapi tak bisa memiliki seutuhnya, bahkan terkadang aku berfikir lebih baik mengakhiri.
Hingga sampai suatu
“Sampai kapan kita seperti ini? Aku nggak bisa seperti ini terus menerus.”
“Aku tau, aku coba untuk mengakhiri.”
“Cepat atau lambat Chika pasti tau hubungan kita.”
“Iya aku tau. Sudah jangan terlalu difikirkan. Biar aku yang selesaikan sendiri. Aku nggak mau ini jadi beban buat kamu.”
“Tapi kalau seperti ini, aku akan selalu jadi yang nomor dua.”
“Tenanglah, ini hanya sementara. Walau begitu, kamu tetap nomor satu di hatiku.”
“Gombal.”
“Buat apa aku bohong? Kita sudah pacaran satu tahun lebih, apa kamu masih belum percaya? Jika aku hanya mempermainkanmu, nggak mungkin aku mempertahankanmu seperti ini. Ya aku tau apa yang kamu mau. Besok aku penuhi semua yang kamu mau.”
“Janji?”
“Iya aku janji.”
Setelah perbincangan itu, aku mendengar kabar Dion dan Chika bertengkar hebat entah apa yang membuat mereka seperti itu. Dan akhirnya mereka putus. Ternyata Dion benar-benar menepati janjinya. Sedangkan Chika menyesal dengan apa yang sudah terjadi diantara hubungan mereka.
“Anjani, aku menyesal kenapa saat itu aku emosi. Aku nggak bisa kendalikan emosiku hingga aku mengucap kata yang nggak seharusnya aku ucapkan.” Kata Chika sambil berlinang air matanya.
“Jangan menangis lagi, nasi sudah jadi bubur.”
“Iya aku tau Dion nggak akan kembali sama aku karena dia sudah punya penggantiku.”
“Kamu kan masih punya Detta. Detta masih setia kan sama kamu?”
“Detta sudah tau jika aku mengkhiyanati cintanya.”
“Ya, kalau begitu ini balasan buat kamu. Ini namanya karma.”
“Sudah pokoknya aku mau balik lagi.”
“Ya terserah kamu deh.”
Hari-hariku lebih baik, mungkin karena sudah tak terbayang-bayang lagi dengan masalah itu. Aku coba menjadi lebih baik, nggak terlalu tomboy.
Suatu hari Chika datang ke Rumahku.
“Nikta, Kak Anjani ada di rumah nggak?”
“Wah, Kak Chika telat. Baru saja Kak Anjani dijemput sama Kak Dion.”
“Mereka pergi kemana?”
“Aku nggak tau Kak, tadi Kak Anjani cuma pamit mau keluar sebentar.”
“Ya sudah kalau gitu Kakak pulang dulu ya? Makasih infonya.”
“Ya, hati-hati ya Kak.” Kata Chika sambil mengusap kepala Nikta.”
Tiba-tiba handphondku berdering, ternyata telpon dari Chika. Aku berusaha tenang dan menjawab telpon.
“Iya ada apa Chika?”
“Kamu lagi dimana? Sama siapa? Aku mau kita ketemu.”
“Memangnya ada apa? Kayaknya ada yang penting.”
“Iya penting. Bisa kan kita ketemu sekarang? Aku tunggu di tempat biasa.
“Ya, 10 menit lagi aku sampai.”
Aku yakin pasti Chika sudah tau tentang hubunganku dengan Dion. Mungkin ini memang saat yang tepat untuk jujur sama Chika. Pasti Chika sakit hati dengan ini, tapi aku harus mengatakannya. Sudah sampai di cafe, aku harus tetap tenang.
“Hai Chik...”
“Anjani, langsung saja aku mau tanya.”
“Tanya masalah apa ya?”
“Kamu ada hubungan apa sama Dion?”
“Hubungan sama Dion gimana sih? Kamu kan tau sediri aku sama Dion kayak gimana?
“Iya, tapi tadi aku ke rumah kamu. Terus adik kamu bilag kalau kamu keluar sama Dion.”
“Iya memang aku keluar sama Dion. Terus kenapa? Apa ada masalah kalau aku keluar sama Dion?”
“Iya, kamu kan tau aku masih sayang sama Dion. Kenapa kamu malah keluar sama Dion?” Emosi Chika semakin memuncak.
“Memangnya salah ya? Toh kamu sudah nggak ada hubungan apa-apa sama Dion. Jadi kamu nggak berhak memantau di dekat, jalan, atau pacaran sama siapa?” Jawabku dengan nada tinggi.
Tiba-tiba Dion datang.
“Kamu kok bisa disini?” Tanyaku.
“Iya, tadi aku ikuti kamu.”
“Bagus deh kalau ada Dion juga. Kamu ada hubungan apa sama Anjani?” Tanya Chika sinis.
“Kamu mau tau ada apa aku sama Anjani. Ok aku jelaskan. Anjani adalah pacarku sekarang.”
“Apa? Sejak kapan? Tanya Chika kaget.
“Beberapa hari setelah kita jadian.” Jawab Dion santai.
“Anjani, kamu keterlaluan. Jadi selama ini kalian bohongi aku. Kamu tega Anjani. Kamu menusukku dari belakang. Jelas-jelas kamu tau aku sayang sama Dion, tapi kamu merebut dia dari aku.”
“Jangan salahkan aku. Maaf aku menusukmu dari belakang. Tapi ini balasan buat kamu. Kamu dulu juga bersikap seperti ini kan terhadap Desta. Kamu menghianati cintanya. Sekarang kamu tau bagaimana rasanya dikhiyanati oleh sahabatmu sendiri. Sekali lagi maaf Chika. Aku cinta sama Dion begitu juga sebaliknya. Dan aku harap kamu bisa terima ini semua.”
“Pengkhiyanat kamu Anjani!” Seru Chika yang akan menamparku.
“Jangan pernah kamu menyentuh apa lagi menyakiti pacarku. Ayio kita pulang Anjani, biarkan orang ini disini.”
Saat meninggalkan Chika, ada perasaan bersalah memperlakukan Chika seerti itu. Mungkin ini memang salahku. Chika benar, aku merebut Dion darinya. Tapi bukan salahku juga kalau aku mencintai Dion dari pada sahabatku sendiri. Aku masih merenung dengan segala hal yang telah aku perbuat.
Sejak malam itu, aku tak pernah lagi melihat Chika di sekolah. Nomor handphondnya juga nggak aktif. Bahkan dia juga pindah rumah. Sudahlah, ini hanyalah perjalanan dari sebagian hidupku. Hidupku masih terus berjalan, dan aku hanya berdoa semoga Chika baik-baik saja dan bisa memaafkanku. Sedangkan Dion masih tetap setia bersamaku.

Selesai...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Pengikut